Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) Semester I Tahun 2025 Tingkat Provinsi

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Menuju Pilkada Serentak Bermartabat

Oleh: Ramli Ondang Djau PASCA terbit Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020. Maka praktis pada 15 Juni 2020 kemarin, sebagai penanda awal Tahapan Pilkada Serentak Lanjutan dimulai. Setelah sebelumnya ditunda akibat penyebaran Covid-19 dengan Keputusan KPU No 179/2020 tentang Penundaan Tahapan Pilkada Tahun 2020 dalam upaya Pencegahan penyebaran Covid-19, juga sebagai respon atas keluarnya Kepres Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Ada beberapa alasan yang membuat Pilkada Serentak gelombang keempat atau sering disebut Pilkada Serentak Gelombang Terakhir (Pasal 201, UU No 10/2016) ini berbeda dengan Pilkada serentak gelombang-gelombang sebelumnya (2015, 2017 dan 2018), yang mendasari perbedaan ini adalah karena Pilkada Serentak tahun ini dilaksanakan di tengah ‘keserentakan’ penyebaran Covid-19 di seluruh Provinsi di Indonesia. Meski dari segi ‘magnitude-nya’ Pilkada Serentak Tahun 2018 lebih besar karena melibatkan 381 Kabupaten /Kota di Indonesia dengan jumlah pemilih sekitar 152 juta (Anthony lee, 2019). Namun Pilkada Serentak di tahun ini jauh lebih rumit dan mahal dibanding pilkada-pikada serentak sebelumnya. Rumit karena tata cara dan penyelengaraannya harus mengadopsi protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19, rumit bukan berarti tidak bisa, KPU punya SDM Penyelenggara yang siap menyelenggarakan Pilkada, pun juga kita punya rujukan beberapa Negara yang telah berhasil melaksanakan pemilu di tengah pandemi ini. Mahal, karena akibat mengadaptasi prosedur pencegahan penyebaran covid-19 maka mau tidak mau Penyelenggara Pilkada sebagai pelaksana Pemilihan harus dipastikan Savety dari menulari dan tertular inveksi virus ini, tentunya dengan pelaksanaan Rapid test di awal bagi penyelenggara dan pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi semua Penyelenggara terutama yang nanti paling intens berinteraksi langsung dengan pemilih dan peserta, dan itu tidak murah. Akibatnya KPU harus melakukan pencermatan dan restrukturisasi NPHD terkait hal itu, melakukan beberapa penyesuaian kegiatan dan anggaran, jika dinilai perlu melakukan penambahan anggaran bersumber dari APBD, namun kemudian ternyata daerah penyelenggara Pilkada tidak mampu dalam penyediaan anggaran tersebut maka sesuai Pasal 166 UU No 10/2016 dapat di dukung oleh APBN sesuai ketentuan Perundang-undangan.  Pilkada Berintegritas Tantangan KPU dalam menjalankan amanat untuk melaksanakan tahapan demi tahapan Pilkada ini selain penyelengaraan ditengah Pandemi Covid-19 dengan mengedepankan protokol kesehatan, KPU juga dituntut untuk menjaga kualitas pilkada baik itu kualitas proses maupun kualitas hasil Pilkada serta mampu menjaga integritas pemihan. Sebagai instrument demokrasi Syarat primer Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah kejujuran dan keadilan (freeness and fairness election). Tentunya bukan saja secara regulatif mengatur hal ini, tapi butuh implementasi konkrit bagi penyelenggara, peserta dan pemilih menjadikan pilkada ini istimewa dan berintegritas. Menurut penulis setidaknya ada tiga unsur yang menjadikan Pilkada berintegitas, yaitu; Pertama, Penyelenggara yang berintegritas. Bagi penyelenggara integritas adalah hal yang mutlak diperlukan dan dimiliki. Sikap konsistensi dan teguh hati untuk tetap berdiri diatas nilai-nilai luhur dan keyakinan bersumber dari norma. Integritas penyelenggara tidak hanya menjadi penentu integritas proses (Integrity of election process) tetapi juga integritas hasil (integrity of election results) yang mampu melahirkan pemimpin daerah yang berintegritas . Integritas penyelenggara juga tercermin dalam prinsip Mandiri, Jujur, adil dan akuntabel sebagaimana di atur dalam PKPU 8 Tahun 2019. Mandiri maknanyna adalah penyelenggara pemilihan mampu bersikap netral atau tidak memihak, menghindari intervensi dari pihak manapun dalam pengambilan keputusan; Jujur bermakna menyampaikan informasi yang benar kepada public sesuai data dan fakta, melaporkan hata kekayaan dan asset yang dimiliki; Adil bermakna menempatkan segala sesuatunya berdasar hak dan kewajibannya; sedangkan Akuntabel mempunyai makna bahwa penyelangara wajib menjelaskan ke publik informasi penyelenggaraan pemilihan dan penggunaan kewenangan publik. Tantangan berat Penyelenggara pemilihan dalam masa pandemi sekarang ini adalah menjaga Integritas, penyelenggra pemilihan punya posisi strategis sekaligus pihak yang bertanggung jawab terselenggaranya pemilu Jujur dan Adil (free and fair election). Karenanya prinsip integritas bagi penyelenggara penting dikedepankan bukan saja untuk menjamin kepercayaan publik dalam penyelenggaraannya sehingga berpengaruh pada meningkatnya partisipasi pemilih. Namun juga untuk menjamin dan memastikan Proses dan hasil Pemilu benar-benar berintegritas, apalagi sejumlah regulasi yang mengatur pedoman perilaku dan kode etik penyelenggara sangat tegas membatasi ruang gerak disintegritas penyelenggara, seperti Peraturan DKPP No 2/2017 dan PKPU 8/2019 yang menjadi batasan-batasan Penyelenggara dalam melaksanakan tahapan Pemilu dan Pemilihan. Kedua, Peserta Pemilihan yang berintegritas. berbeda dengan Pemilu, peserta pemilihan adalah calon Kepala Daerah yang bertarung di Pilkada yang diusung oleh partai politik atau koalisi partai pendukung dan Peserta Pemilihan yang maju dengan jalur independen. Masih maraknya dugaan praktik politik uang yang mewarnai pilkada serentak telah setidaknya mencoreng demokrasi lokal kita, Politik uang bukan lagi sesuatu yang tabu dalam pemilu dan telah menjadi normalitas baru (New Normal) dalam pemilu pasca Orde baru (Muhtadi, 2019). Dalam laporan Bawaslu pada Pilkada serentak 2018 menyebut ada 35 Kasus dugaan Politik uang yang dilakukan oleh Peserta Pemilu yaitu calon Kepala Daerah sebagaimana dilansir detiknews (27/06/2018), ini membuktikan bahwa praktek-praktek disintegritas masih menjadi ‘jualan’ peserta pemilu dalam meraup suara pemilih. Ketua Bawaslu RI menyebut bahwa bila ada praktik politik uang dalam Pemilihan Kepala Daerah serentak  2020 tentu akan menjadi cikal bakal perilaku korupsi (liptan6.com 05/02/2020). Peserta Pemilihan yang berintegritas tentunya tidak akan menggunakan cara-cara ‘haram’ itu dalam meraih suara dalam Pilkada nanti. Peserta Pemilihan yang berintegritas akan tercermin pada karakternya, biasanya terekspresikan dalam sikap, gaya hidup, etika, etiket, selaras hidupnya antara pikiran, ucapan dan tindakan. Masyarakat pemilih yang “melek” demokrasi nantinya akan melihat ini sebagai calon Pemimpin yang bisa diharapkan untuk kemajuan Daerah. Dan tentu saja Calon Kepala Daerah yang tidak berintegritas tidak akan laku terjual bagi Pemilih Cerdas. Ketiga, Pemilh yang berintegritas. Pemilih yang lebih mengedepankan rasionalitas dalam menentukan pilhan. Jika kita menginginkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas maka jawabannya adalah menjadilah pemilih yang cerdas. Cerdas dalam memilih pemimpin yang punya track record yang baik, bukan pemimpin yang sengaja memoles dirinya dengan citra baik saat akan mencalonkan atau yang sengaja melakukan praktik politik uang untuk meraih suara, agar kelak nanti pemilih tidak akan menyesali keputusannya dalam memilih pemimpin. Menjadi pemilih cerdas adalah pilar utama untuk menjadi Pemilih yang berintegritas. Pemilih berintegritas tentu akan memilih calon kepala daerah  yang tidak melakukan praktik-praktik politik uang, korupsi, tindakan asusila/etika, dan tindakan SARA (Muhtadi, 2019). Menjadi pemilih berintegritas itu tidak sulit, semua berantung pada niat kita untuk menjadikan daerah kita lebih baik dengan memilih Pemimpin yang baik pula. Caranyapun tidak sulit, hal-hal yang perlu dilakukan untuk menjadi pemilih cerdas dan berintegritas antara lain; Jangan Golput, gunakan hak pilih, kenali rekam jejak (track record) calon kepala daerah, mencermati visi dan misi calon, jangan mudah termakan Hoax dan menolak keras praktik-pratik Politik uang. Jika ketiga komponen diatas terpenuhi maka Pilkada berintegritas bukan lagi hanya dalam tataran ide, akan tetapi menjadi kebanggan dan warisan sejarah yang kita idam-idamkan. Lebih jauh, jika Pilkada berintegritas dibarengi dengan kesadaran semua stakeholder dan penegakan hukum pemilihan yang berjalan baik, maka Keadilan Pemilu dan pemilihan sudah pasti tercapai. Dan jika Pilkada berintegritas dengan keadilan pemilu bisa terwujud maka Pilkada bermartabat sebagai capaian tertinggi dalam demokrasi bisa kita wujudkan. Aamiin. (***)

Kebermaknaan Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu

Oleh: Ramli Ondang Djau Menarik saat berbincang dengan Pak DR. Ulber Silalahi salah satu pakar administrasi publik dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung, soal partisipasi publik dalam Pemilu. Beliau menyebut terlalu mainstream jika yang menjadi ukuran tingkat keberhasilan dari penyelenggaraan pemilihan umum itu adalah salah satunya tercapainya angka partisipasi pemilih dalam pemilu secara kuantitatif. Menurutnya, partisipasi hanya akan menjadi deretan angka secara kuantitatif yang belum tentu mewakili makna partisipasi secara kualitas. Bagi keberlangsungan demokrasi berkualitas ini penting diseriusi dan bagi penyelenggara pemilu sendiri narasi ini adalah langkah evaluatif untuk perbaikan penyelenggaraan sosialisasi dan pendidikan pemilih.  Pertanyaan lepas dari bahasan ini adalah apakah ketercapaian angka partisipasi pemilih pada setiap event pemilu mewakili kualitas kebermaknaan? Atau apakah yang disebut partisipasi langsung dalam pemilu benar-benar memiliki arti penting pada setiap individu pemilih dan membekas, sehingga setiap even pemilu menjadi moment istimewa bagi pemilih? Pembahasan tersebut sesungguhnya hendak menggambarkan hal-hal prinsip dan teknis berkait dengan proses dan tahapan yang harus dilalui agar bisa dipastikan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilu benar-benar memiliki kebermakanaan yang berarti, paling tidak bukan hanya secara kuantitatif tercapai tetapi juga secara kualitas terpenuhi. Secara historis, diskusi ini hendak mengungkapkan dua kondisi : Pertama, adanya suatu kenyataan sejarah dimana masyarakat telah sekian lama hidup dibawah hegemoni politik. Akibat dari ini adalah masyarakat berada dalam represi ideologi, dengan demikian kesadaran politik rakyat bisa diduga merupakan kesadaran hasil “bentukan” dari kekuaatan politik tertentu, serta aspirasi rakyat dalam bentuk the voter’s choice  dengan sendirinya bukan aspirasi yang sesungguhnya, sangat mungkin pilihan pemilih yang disampaikan merupakan aspirasi “pantulan” dari hegemoni kekuatan politik tertentu. Kedua, sangat berlebihan jika hendak menyebutkan bahwa trauma sejarah ini membuat rakyat telah kehilangan institusi lokal dan kecerdasan lokal, sebagai akibat dari “tekanan” politik elit, dibanyak kasus ini adalah fakta. Hal ini mengakibatkan rakyat tidak memiliki kembali saluran yang bisa dipercaya, dan bisa memberikan rasa aman atas apa yang dirasa dan apa yang dipikirkan. Institusi politik yang diharapkan sebagai sarana sosialisasi dan komunitas politik telah gagal menempatkan dirinya sebagai institusi yang mencerdaskan. Situasi demikian membuat rakyat semakin tidak terorganisir dan tampil sebagai individu-individu yang terpisah dan cenderung pragmatis, rakyat dengan sendirinya tidak lagi terlatih untuk jujur mengaktualisasikan aspirasi dan hak pilihnya, bahkan sebaliknya lebih banyak menerima intervensi dalam partisipasi politiknya. Kedua kondisi tersebut justru menjadikan masyarakat sebagai bulan-bulanan kepentingan, kepercayaan menjadi barang langka, dan akhirnya rakyat menjadi tidak terbiasa untuk jujur pada partisipasi politiknya. Hipokrisi akan selalu menjadi bagian dari partisipasi politiknya, seseorang akan sangat mudah mengatakan “saya memilihnya”, tetapi secara nurani tidak. Seseorang akan dengan gampang berpura-pura mendukung pilihannya, padahal apa yang sebenarnya bisa jadi tersembunyi. Sehingga apa yang diharapkan dari kebermaknaan partisipasi masyarakat pada pemilu tidak terpenuhi. Lagi-lagi ukuran ketercapaian partisipasi hanya akan berkutat pada seberapa besar dan seberapa luas bukan pada “seberapa dalam” partisipasi masyarakat pada pemilu itu dipenuhi. Lantas apa yang hendak dilakukan untuk menjadikan partispasi masyaraka menjadi benar-benar bermakna?   Keluar Dari Lorong Gelap Pertanyaan dasar yang signifikan adalah bagaimana mengupayakan agar ketercapaian partisipasi pemilih dalam pemilu memiliki makna, berkesan dan membekas? Pertanyaan ini hendak melangkah lebih jauh, bukan lagi mempersoalkan apakah bisa atau tidak, melainkan masuk dalam pencarian bagaimana menciptkan kemungkinan. Tidak berlebihan bila menyebut ketercapaian angka partisipasi pemilih dalam pemilu adalah bukan merupakan jawaban final bagi proses demokratisasi di Indonesia, karena jika narasi pemilu sebagai instrument demokrasi, sudah seharusnya memposisikan rakyat pada porsi istimewa yang akan menjadi jalan bagi demokratisasi yang substansial. Kedaulatan benar-benar berada ditangan rakyat. Jika telah menempatkan rakyat pada posisi ini, maka sesungguhnya demokrasi kita telah melewati lorong sempit nan gelap, seperti kekhawatiran Thomas Hobbes pada 380 tahun lalu dalam publikasinya tentang Leviathan dimana jika tidak di “jinakkan” oleh kedaulatan rakyat yang proporsional maka negara akan sangat kuat dan berkuasa dan merubah wujud menjadi “monster” Leviathan menjadi Despotic Leviathan.   Dibanyak negara demokrasi, pemilu dijadikan lambang dan tolak ukur dari demokrasi itu. Pemilu adalah arena kompetisi dimana rakyat seringkali menjadi objek sekaligus subjek dalam memenangkan kompetisi. Sebagai elemen kunci tentu saja pemilu harus dilaksanakan secara demokratis pula. Secara substantif pemilu seringkali disebut sebagai “penyampaian” suara rakyat untuk terbentuknya Lembaga perwakilan dan Pemerintahan sebagai Penyelenggara Negara, yang diwujudkan dalam bentuk Hak Pilih (rights to vote). Demokrasi menjamin kebebasan rakyat dalam menentukan pilihan, menjamin Hak Pilih rakyat. Maka dalam rangka menjamin kebebasan memilih itu harusnya dimaknai sebagai bentuk upaya mengeluarkan pemilu dari lorong gelap, sejarah kelam demokrasi kita sedikit banyak telah mengajarkan banyak hal, menciptakan banyak trauma politik. Satu-satunya jawaban atas sejarah itu adalah dengan memberikan kesempatan kepada rakyat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dengan benar, berpatisipasi dalam pemilu, tidak hanya sekedar secara kuantitatif meningkat, akan tetapi bermakna secara kualitas. Untuk mewujudkan kebermaknaan atas partisipasi tersebut setidak-tidaknya ada tiga hal yang menurut penulis menjadi fokus perhatian dan perlu dimatangkan : Pertama, Membangun Kesadaran (awareness building) masyarakat akan Pemilu dan pentingnya bagi keberlangsungan demokrasi. Masyarakat harus lebih dulu tahu sebelum mereka hadir memilih, tidak hanya soal ‘kapan’, ‘dimana’ dan ‘apa’ itu pemilu, tetapi juga harus merangsang minatnya. Dengan begitu maka pemilu bagi mereka tidak hanya “ritual” periodik lima tahunan tetapi akan lebih berkesan, karena pemilu dianggap sebagai momentum penting paling dinanti untuk sama-sama berkontribusi dan menentukan nasib bangsa; Kedua,  mengedukasi pemilih tentang pemilu untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pemilih dalam menggunakan haknya. Masyarakat tidak boleh buta pemilu, tidak boleh tidak tahu siapa yang akan di pilihnya. Pendidikan terhadap pemilih ini seyogyanya menitik beratkan pada apa, siapa dan bagaimana memilih, serta tujuan untuk menyalurkan plihan. Hendaknya edukasi yang diharapkan adalah semata-mata untuk mencerdaskan pemilih, mentransformasikan kesadaran pada ketrampilan menyalurkan partisipasinya, sehingga masyarakat bisa keluar dari tradisi “bisu” dan menyembunyikan maksud dibawah tekanan kekuatan politik; Ketiga, merevitalisasi peran penyelenggara pemilu dan peserta pemilu (partai politik dan pasangan calon) untuk memperkuat terwujudnya masyarakat pemilih yang sadar dan cerdas. Meningkatkan kesadaran dan kecerdasan pemilih tidak hanya sebagai tugas pemerintah, LSM, lembaga pendidikan non formal serta stakeholder lainnya, tetapi juga menjadi tanggung jawab penting penyelenggara pemilu yang berintegritas dan peserta pemilu yang berintegritas pula. Dalam konteks ini KPU telah mengambil peran penting, antaranya : pendidikan pemilih berbasis, sosialisasi pemilu dengan segmentasi dan program termutakhir KPU dalam membangun kesadaran pemilih dengan menggiatkan Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) dengan fokus pada melahirkan Volunteer Pemilu berbasis desa untuk merangsang minat masyarakat dalam berpartisipasi pada pemilu. Ketiga hal tersebut merupakan pra kondisi untuk menjamin bagi suatu proses pemilu yang bermakna dan terselenggara dengan baik dan benar. Hal ini secara tidak langsung akan mengasumsikan bahwa Pemilih telah “terlatih” secara baik. Tanpa adanya pra kondisi ini, dalam arti mengembangkan kesadaran dan pendidikan politik, maka partisipasi secara langsung dalam pemilihan tidak akan memberi banyak arti. Menyongsong pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024, pra kondisi tersebut menjadi prasyarat utama bagi kebermaknaan partisipasi politik pemilih dalam pemilu sebagai jaminan terselenggaranya pemilu demokratis serta bermakna, dan KPU  sudah cukup siap untuk itu.

Publikasi